Pendahuluan
Jauh sebelum tiga dasawarsa yang penuh dengan konflik sosial ini, antara tahun 1770-1790, Kalbar juga pernah mencatat terjadi konflik yang besar antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Melayu pada masa kerajaan (sekitar tahun 1770-an). Konflik ini berkaitan dengan kebijakan kerajaan Sambas dan Mempawah yang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk diperkerjakan di pusat-pusat pertambangan emas. Konflik serupa juga terjadi antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Dayak yang berkaitan dengan usaha pertambangan emas di Kalbar. Konflik dalam skala lebih luas terjadi lagi antar kedua etnik ini pada tahun 1967 yang menyebabkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa keluar dari wilayah pedalaman.
Tercatat antara tahun 1950 sampai 1999 (Kalimantan Review No. 45, Mei 1999) telah terjadi 12 kali konflik antar etnis yang meluas antar etnik Dayak dan Madura. Konflik tahun 1997 merupakan konflik yang terbesar antar kedua komunitas etnik tersebut dan meluas di hampir semua kabupaten di Kalbar. Konflik ini dipicu oleh peristiwa perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Pengusiran besar-besaran pun terjadi terhadap komunitas etnik Madura oleh etnik Dayak dari wilayah pedalaman. Konflik ini akhirnya mulai mereda saat mekanisme adat dan budaya diakomodir dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sebagian kecil komunitas etnik Madura mulai dapat kembali lagi di wilayah pedalaman (daerah-daerah tertentu).
Pada tahun 1999 juga terjadi konflik besar antar komunitas etnik Melayu dan etnik Madura yang dipicu oleh pembunuhan oleh warga Madura terhadap warga Melayu. Bersamaan dengan ini pula terjadi konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura yang juga dipicu dengan terbunuhnya warga dayak oleh warga Madura. Konflik ini meluas dengan cepat sehingga pengusiran besar-besaran terhadap etnik Madura khususnya didaerah kabupaten Sambas dan beberapa daerah lain seperti Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang. Dan sampai tahun 2002 masih tercatat sekitar 68.000 pengungsi (IDPs) yang menyebar di beberapa tempat penampungan yang ada di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Selama terjadi pengungsian ini konflik kekerasan terus berlanjut secara sporadis pada tahun 2000, 2001 dan 2002 diwilayah Kodya Pontianak dan Kabupaten. Salah satu pemicu utama adalah ketidakjelasan orientasi penanganan pengungsi di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Konflik etnik di Kabupaten Sambas ini merupakan titik kulminasi dan juga dianggap sebagai salah satu konflik yang paling mematikan dan paling luas dampaknya sampai hari ini. Pengusiran besar-besaran warga etnik Madura oleh etnik Melayu dari wilayah Kabupaten Sambas masih berlaku sampai hari ini. Akhirnya komunitas etnik Madura terpaksa kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan menjadi pengungsi di negeri sendiri (IDPs).
Dalam sejarah hubungan antar etnik Melayu dan etnik Dayak, belum pernah terjadi konflik fisik secara terbuka dan dalam sekala yang besar. Menurut catatan Bouman dalam adatrechbundels (1952) menyatakan bahwa konflik antar kedua etnik besar ini pernah terjadi antara komunitas Melayu Silat dibawah Panembahan Minjoek, yang bergabung dengan orang Melayu Silimbau yang kemudian berperang dengan komunitas Dayak Taman. Kemudian komunitas Melayu tersebut juga menyerang orang Dayak Pekaki, Dayak Pajak, dan Dayak Suhaid yang semuanya terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Akar Masalah Kecenderungan Masa Depan
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali ini memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Diantara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakperpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri.
Dari pengalaman sejarah, konflik kekerasan antar komunitas etnis di Kalbar ini dapat dengan mudah meluas. Kejadian di satu wilayah (mulai desa sampai kabupaten) dapat dengan mudah meluas di wilayah-wilayah lainnya. Akar konflik yang belum selesai, rekonsiliasi yang masih macet, sterotype yang menguat, spiral kekerasan, pertarungan politik tingkat lokal, perebutan sumberdaya lokal merupakan diantara faktor utama yang akan dapat memicu konflik kekerasan dimasa depan. Sehingga dimasa mendatang, benturan-benturan kecil pun akan sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan dengan simbol etnis.
Konflik masa lalu, khususnya untuk kasus kerusuhan sosial Sambas (1999) masih menyisakan agenda yang cukup penting yakni:
rekonsiliasi yang macet (pengungsi warga Madura masih belum diterima di Sambas)
penyelesaian sengketa kepemilikan sumber daya (khususnya tanah dan harta benda) dari kedua pihak yang bertikai
Dampak konflik masa lalu menimbulkan masalah baru dalam proses interaksi antar etnik dan penanganan konflik masa depan yang ada di Kalbar:
Pewarisan spiral kekerasan bagi generasi selanjutnya
Relokasi bagi warga madura yang menimbulkan suatu gejala untuk timbulnya suatu konflik baru antar IDPs dengan warga lokal
Perebutan sumber daya didalam komunitas sebagai pemicu konflik baik inter-komunitas etnis maupun intra-komunitas etnis
Semakin mengentalnya legitimasi budaya kekerasan di kalangan etnis tersebut dalam menyelesaikan sengketa antar komunitas (etnik)
Trauma konflik masyarakat luas yang akan memperkuat stereotype/stigma etnis
Peluang konflik masa depan yang dipengaruhi dan diperkuat dengan problema struktural di Kalbar:
Pertarungan politik lokal berbasis masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol etnisitas dan bahkan agama
Semakin menguatnya Premanisme sebagai alat kekuasaan
Pola pemukiman masyarakat yang masih terkotak-kotak dan menghambat proses akulturasi dan asimilasi budaya
Masih sangat terbatasnya sarana transportasi, komunikasi dan inforamsi bagi masyarakat basis sehingga masih sangat mudah mengalami dis-informasi (provokasi isu)
Belum optimalnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat banyak (dampaknya terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat)
Struktur kebijakan yang masih tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat
Pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan tidak memberi ruang bagi masyarakat banyak
Masih lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik
Pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat memperlebar kesenjangan sosial antar masyarakat akan berdampak terhadap munculnya simbol-simbol etnisitas sebagai kelompok tertindas dan termarginalkan dalam interaksi sosial
Masih lemahnya penegakan hukum menangani konflik dan masih lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam mengelola konflik
Penutup
Pada dasarnya sinyal-sinyal dini akan terjadinya kekerasan dan konflik antar komunitas etnik sudah cukup jelas di Kalimantan Barat. Faktor-faktor diatas jelas menggambarkan kerentanan Kalimantan Barat dalam hubungan antar komunitas etniknya. Dan sampai saat belum ada satu pihak pun yang secara sistematis melakukan terobosan baru dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dan mengelola konflik di Kalimantan Barat. Jika faktor-faktor tersebut diatas tidak segera di tindaklanjuti maka konflik kekerasan antar komunitas etnik di Kalbar akan sangat mudah berulang kembali. Akibatnya konflik kekerasan ini tentu akan membawa dampak destuktif yang lebih luas di Kalimantan Barat karena faktor-faktor penyebabnya lebih bersifat akumulatif dari persoalan masa lalu yang tak terselesaikan.
Untuk itu perlu ada usaha yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan akan terjadinya peluang konflik dilihat dari kecenderungan utama interaksi sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Upaya ini perlu dilakukan untuk sedapat mungkin memberikan peringatan dini akan peluang terjadinya konflik kekerasan antar komunitas etnik. Sehingga lebih jauh dapat mencegah dan setidaknya mengurangi dampak konflik kekerasan tersebut.
Sumber : yohanes supak
Jauh sebelum tiga dasawarsa yang penuh dengan konflik sosial ini, antara tahun 1770-1790, Kalbar juga pernah mencatat terjadi konflik yang besar antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Melayu pada masa kerajaan (sekitar tahun 1770-an). Konflik ini berkaitan dengan kebijakan kerajaan Sambas dan Mempawah yang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk diperkerjakan di pusat-pusat pertambangan emas. Konflik serupa juga terjadi antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Dayak yang berkaitan dengan usaha pertambangan emas di Kalbar. Konflik dalam skala lebih luas terjadi lagi antar kedua etnik ini pada tahun 1967 yang menyebabkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa keluar dari wilayah pedalaman.
Tercatat antara tahun 1950 sampai 1999 (Kalimantan Review No. 45, Mei 1999) telah terjadi 12 kali konflik antar etnis yang meluas antar etnik Dayak dan Madura. Konflik tahun 1997 merupakan konflik yang terbesar antar kedua komunitas etnik tersebut dan meluas di hampir semua kabupaten di Kalbar. Konflik ini dipicu oleh peristiwa perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Pengusiran besar-besaran pun terjadi terhadap komunitas etnik Madura oleh etnik Dayak dari wilayah pedalaman. Konflik ini akhirnya mulai mereda saat mekanisme adat dan budaya diakomodir dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sebagian kecil komunitas etnik Madura mulai dapat kembali lagi di wilayah pedalaman (daerah-daerah tertentu).
Pada tahun 1999 juga terjadi konflik besar antar komunitas etnik Melayu dan etnik Madura yang dipicu oleh pembunuhan oleh warga Madura terhadap warga Melayu. Bersamaan dengan ini pula terjadi konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura yang juga dipicu dengan terbunuhnya warga dayak oleh warga Madura. Konflik ini meluas dengan cepat sehingga pengusiran besar-besaran terhadap etnik Madura khususnya didaerah kabupaten Sambas dan beberapa daerah lain seperti Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang. Dan sampai tahun 2002 masih tercatat sekitar 68.000 pengungsi (IDPs) yang menyebar di beberapa tempat penampungan yang ada di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Selama terjadi pengungsian ini konflik kekerasan terus berlanjut secara sporadis pada tahun 2000, 2001 dan 2002 diwilayah Kodya Pontianak dan Kabupaten. Salah satu pemicu utama adalah ketidakjelasan orientasi penanganan pengungsi di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Konflik etnik di Kabupaten Sambas ini merupakan titik kulminasi dan juga dianggap sebagai salah satu konflik yang paling mematikan dan paling luas dampaknya sampai hari ini. Pengusiran besar-besaran warga etnik Madura oleh etnik Melayu dari wilayah Kabupaten Sambas masih berlaku sampai hari ini. Akhirnya komunitas etnik Madura terpaksa kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan menjadi pengungsi di negeri sendiri (IDPs).
Dalam sejarah hubungan antar etnik Melayu dan etnik Dayak, belum pernah terjadi konflik fisik secara terbuka dan dalam sekala yang besar. Menurut catatan Bouman dalam adatrechbundels (1952) menyatakan bahwa konflik antar kedua etnik besar ini pernah terjadi antara komunitas Melayu Silat dibawah Panembahan Minjoek, yang bergabung dengan orang Melayu Silimbau yang kemudian berperang dengan komunitas Dayak Taman. Kemudian komunitas Melayu tersebut juga menyerang orang Dayak Pekaki, Dayak Pajak, dan Dayak Suhaid yang semuanya terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Akar Masalah Kecenderungan Masa Depan
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali ini memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Diantara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakperpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri.
Dari pengalaman sejarah, konflik kekerasan antar komunitas etnis di Kalbar ini dapat dengan mudah meluas. Kejadian di satu wilayah (mulai desa sampai kabupaten) dapat dengan mudah meluas di wilayah-wilayah lainnya. Akar konflik yang belum selesai, rekonsiliasi yang masih macet, sterotype yang menguat, spiral kekerasan, pertarungan politik tingkat lokal, perebutan sumberdaya lokal merupakan diantara faktor utama yang akan dapat memicu konflik kekerasan dimasa depan. Sehingga dimasa mendatang, benturan-benturan kecil pun akan sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan dengan simbol etnis.
Konflik masa lalu, khususnya untuk kasus kerusuhan sosial Sambas (1999) masih menyisakan agenda yang cukup penting yakni:
rekonsiliasi yang macet (pengungsi warga Madura masih belum diterima di Sambas)
penyelesaian sengketa kepemilikan sumber daya (khususnya tanah dan harta benda) dari kedua pihak yang bertikai
Dampak konflik masa lalu menimbulkan masalah baru dalam proses interaksi antar etnik dan penanganan konflik masa depan yang ada di Kalbar:
Pewarisan spiral kekerasan bagi generasi selanjutnya
Relokasi bagi warga madura yang menimbulkan suatu gejala untuk timbulnya suatu konflik baru antar IDPs dengan warga lokal
Perebutan sumber daya didalam komunitas sebagai pemicu konflik baik inter-komunitas etnis maupun intra-komunitas etnis
Semakin mengentalnya legitimasi budaya kekerasan di kalangan etnis tersebut dalam menyelesaikan sengketa antar komunitas (etnik)
Trauma konflik masyarakat luas yang akan memperkuat stereotype/stigma etnis
Peluang konflik masa depan yang dipengaruhi dan diperkuat dengan problema struktural di Kalbar:
Pertarungan politik lokal berbasis masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol etnisitas dan bahkan agama
Semakin menguatnya Premanisme sebagai alat kekuasaan
Pola pemukiman masyarakat yang masih terkotak-kotak dan menghambat proses akulturasi dan asimilasi budaya
Masih sangat terbatasnya sarana transportasi, komunikasi dan inforamsi bagi masyarakat basis sehingga masih sangat mudah mengalami dis-informasi (provokasi isu)
Belum optimalnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat banyak (dampaknya terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat)
Struktur kebijakan yang masih tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat
Pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan tidak memberi ruang bagi masyarakat banyak
Masih lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik
Pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat memperlebar kesenjangan sosial antar masyarakat akan berdampak terhadap munculnya simbol-simbol etnisitas sebagai kelompok tertindas dan termarginalkan dalam interaksi sosial
Masih lemahnya penegakan hukum menangani konflik dan masih lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam mengelola konflik
Penutup
Pada dasarnya sinyal-sinyal dini akan terjadinya kekerasan dan konflik antar komunitas etnik sudah cukup jelas di Kalimantan Barat. Faktor-faktor diatas jelas menggambarkan kerentanan Kalimantan Barat dalam hubungan antar komunitas etniknya. Dan sampai saat belum ada satu pihak pun yang secara sistematis melakukan terobosan baru dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dan mengelola konflik di Kalimantan Barat. Jika faktor-faktor tersebut diatas tidak segera di tindaklanjuti maka konflik kekerasan antar komunitas etnik di Kalbar akan sangat mudah berulang kembali. Akibatnya konflik kekerasan ini tentu akan membawa dampak destuktif yang lebih luas di Kalimantan Barat karena faktor-faktor penyebabnya lebih bersifat akumulatif dari persoalan masa lalu yang tak terselesaikan.
Untuk itu perlu ada usaha yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan akan terjadinya peluang konflik dilihat dari kecenderungan utama interaksi sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Upaya ini perlu dilakukan untuk sedapat mungkin memberikan peringatan dini akan peluang terjadinya konflik kekerasan antar komunitas etnik. Sehingga lebih jauh dapat mencegah dan setidaknya mengurangi dampak konflik kekerasan tersebut.
Sumber : yohanes supak
Comments
Post a Comment